Di tengah gegap gempita program Merdeka Belajar dan transformasi pendidikan Indonesia, ada sosok penting yang sering luput dari perhatian: guru honorer. Mereka mengajar dengan dedikasi tinggi, mencerdaskan generasi bangsa, namun nasibnya masih terjepit oleh ketidakpastian status, gaji minim, dan regulasi yang belum berpihak. Bagaimana kondisi aktual guru honorer di Indonesia? Apa solusi yang bisa ditawarkan?
Kontribusi Guru Honorer dalam Membangun Pendidikan Nasional
Berdasarkan data Kemdikbudristek (2023), terdapat 1,3 juta guru honorer yang mengisi kekurangan tenaga pengajar di sekolah negeri dan swasta. Peran mereka sangat krusial, terutama di daerah terpencil dan sekolah dengan anggaran terbatas. Tanpa guru honorer, banyak kelas akan kosong dan hak belajar siswa terabaikan.
Beberapa kontribusi nyata guru honorer:
- Mengisi kekurangan guru tetap di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
- Menjadi penggerak inovasi pembelajaran dengan sumber daya terbatas.
- Menjaga keberlangsungan pendidikan di masa pandemi dan pascabencana.
Masalah Utama yang Dihadapi Guru Honorer
Meski menjadi pilar pendidikan, nasib guru honorer masih jauh dari sejahtera. Beberapa masalah krusial yang sering dikeluhkan:
1. Gaji di Bawah UMR
Gaji guru honorer berkisar Rp300.000–Rp800.000 per bulan, padahal beban mengajar bisa mencapai 24 jam per minggu. Di banyak daerah, angka ini bahkan tidak mencapai setengah Upah Minimum Regional (UMR).
2. Ketidakpastian Status Kepegawaian
Proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) seringkali lambat dan tidak transparan. Banyak guru honorer yang mengabadi puluhan tahun tanpa kepastian pensiun atau tunjangan.
3. Minimnya Perlindungan Hukum
Guru honorer rentan di-PHK sepihak, tidak mendapat jaminan kesehatan (BPJS), dan tidak memiliki akses pelatihan kompetensi.
Regulasi yang Masih Setengah Hati
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer, seperti program PPPK dan afirmasi kuota 20% untuk honorer lama. Namun, implementasinya masih menemui kendala:
- Kuota terbatas: Hanya 20-30% guru honorer yang lolos seleksi PPPK.
- Syarat administrasi rumit: Dokumen seperti STR dan ijazah sering menjadi penghambat bagi guru di daerah.
- Diskriminasi usia: Banyak guru honorer senior tereliminasi karena batasan usia seleksi.
Solusi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Guru Honorer
Agar guru honorer tidak lagi menjadi “pekerja kedua”, diperlukan langkah strategis:
- Revisi UU ASN untuk memperluas kuota dan mempermudah syarat PPPK.
- Penghapusan sistem honorer jangka panjang dengan konversi status ke PPPK atau guru tetap.
- Pemberian tunjangan khusus untuk guru honorer di daerah 3T.
- Kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran lebih besar bagi guru tidak tetap.
Kisah Inspiratif: Guru Honorer yang Bertahan demi Anak Bangsa
Seperti kisah Ibu Siti (45), guru honorer SD di NTT yang mengajar 3 kelas sekaligus dengan gaji Rp450.000/bulan. “Saya ingin anak-anak di sini bisa membaca dan berhitung. Meski honorer, saya tak mau mereka tertinggal,” ujarnya. Kisah Ibu Siti adalah gambaran nyata dedikasi guru honorer yang patut diapresiasi.
Penutup: Saatnya Beri Kepastian untuk Pahlawan Pendidikan
Guru honorer adalah aset bangsa yang perlu dilindungi. Tanpa regulasi yang adil, mustahil mewujudkan pendidikan berkualitas dan merata. Pemerintah, masyarakat, dan stakeholder pendidikan harus bersinergi untuk mengakhiri “penjajahan” sistem terhadap guru honorer.